Cara Mengatasi Learning Loss Di Masa Pandemi Covid 19

Tidak terasa, setahun lebih kita harus hidup di masa pandemi seperti ini. Bahkan, kita pun tidak tahu pasti, akan seberapa lama lagi masa-masa seperti ini akan berlangsung. Setahun, dua tahun, atau lima tahun lagi? Tidak ada yang tahu secara pasti. Bisa dikatakan, masa pandemi ini menjadi masa yang sulit dijelaskan. Begitu banyak efek berantai yang menyertai kehadiran virus ini. Bahkan istilah-istilah baru pun bermunculan, seperti:

  • lock down
  • PPKM
  • Isoman
  • Ibaman
  • Isoja (work from home)
  • Isojar (learn from home)
  • Isoping
  • Isokan
  • learning loss
  • dan lain-lain.

Salah satu bahaya yang mengancam masa depan adalah learning loss, karena berkaitan dengan dunia pendidikan yang menjadi tulang punggung keberhasilan. Bukan hanya sekedar kehilangan dalam hal pengetahuan dan kinetetis, tetapi justru yang paling mengkawatirkan adalah learning loss dalam hal karakter. Dengan berubahnya metode pembelajaran dari offline menjadi online, atau tatap muka langsung di kelas menjadi tatap muka maya, maka sangatlah sulit untuk menanamkan (internalisasi) nilai-nilai kehidupan kepada anak, seperti nilai saling menghormati dan menghargai, nilai empati, bela rasa, ketrampilan sosial untuk hidup bersama, ketrampilan bekerja sama, kesadaran bahwa di atas langit masih ada langit dan beragamnya karakter teman sekelas, dan lain sebagainya. Dengan sistem online, peluang untuk kehilangan kesempatan belajar berbagi cipta-rasa-pelihara semakin besar. Jika masa ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan terlahir generasi egois. Apakah kita selaku orang tua akan membiarkan saja? Lalu bagaimana solusinya?

Back to basic: keluarga. Ini bisa menjadi solusi yang tepat untuk kita sadari dan kita pilih. Kita bisa mengurangi bahaya dan dampak learning loss pada anak-anak kita jika kita mau kembali meyakini dan menjalani peran kita sebagai pendidik utama dalam keluarga. Terlebih, di masa seperti ini, mau tidak mau waktu kebersamaan seluruh anggota keluarga semakin besar. Ini adalah peluang bagi kita selaku pendidik utama untuk internalisasi nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak kita. Luangkan waktu untuk menemani mengobrol dengan anak, mengajak bela rasa dengan memberi sedekah, berdoa dan mengucap syukur setiap saat dalam tindakan, memberi contoh bagaimana belajar itu sepanjang hayat dengan mengikuti pelatihan/training/seminar, dan menciptakan aura harmonis dalam keluarga. Niscaya anak akan belajar tentang nilai-nilai kehidupan bersosial dan bermasyarakat, karena keluarga adalah masyarakat terkecil.

 

Metode Pembelajaran Terbaik Untuk Anak Kita

“Anak-anak jaman sekarang berbeda dengan kita dulu. Tidak tahu etika….! Bikin emosi saja…”

Saya hanya tersenyum menanggapi keluhan rekan ronda di atas. Tidak menolak atau mengiyakan pendapatnya. Tetapi memang, tidak hanya sekali dua kali saya mendengarkan opini yang senada di atas. Banyak orang tua yang mengalaminya.

Saya jadi teringat pengalaman saat berkunjung ke sahabat masa kecil saya, kira-kira 5 tahun lalu. Begitu masuk ke ruang tamu, beberapa saat sahabat saya mengundang istri  dan anak-anaknya untuk ikut menemui saya sebagai tamunya, sekaligus mengenalkan betapa dia bangga punya sahabat seperti saya. Lalu salah satu anak laki-lakinya masuk dapur dan membuatkan kopi dan teh untuk kami semua. Dan di saat istri dan anak yang lain undur diri, justru anak laki-laki yang membuatkan minuman tadi masih diminta untuk menemani obrolan kami berdua sejenak, kurang lebih 5 menit. Sahabat saya beberapa kali ikut melibatkan anaknya dalam obrolan kami.

Setelah tinggal berdua, sambil ditemani kopi dan rokok, saya terbersit untuk menanyakan maksud dan tujuan sahabat saya tadi, mengapa meminta anaknya yang membuatkan minuman dan sejenak ikut mengobrol. Ternyata simpel. Dia ingin membiasakan anaknya untuk ikut menyambut tamu, bergantian membuatkan minuman, dan sejenak nimbrung saat memungkinkan. Dengan begitu, anaknya akan melihat sendiri, bagaimana cara ayahnya menyambut tamunya (yang kebetulan sahabat masa kecilnya), bagaimana berbasa-basi sejenak, bagaimana menjabat tangan atau merangkul sahabat, dan terlebih, bagaimana menghargai orang lain. Dan sahabat saya memberi contoh nyata, dia menghargai anaknya dengan melibatkannya dalam obrolan.

Bagi saya, pengalaman di atas sungguh luar biasa. Pantas saja, saat saya datang dan pulang, tidak perlu diajarin, anak-anaknya seperti sangat tahu etika menyambut tamu. Sebuah pembelajaran tentang hidup yang sangat tepat dan pas. Tidak perlu memberi banyak nasehat, yang biasanya akan lewat saja untuk anak jaman sekarang. Justru memberi contoh tindakan nyata, dan melibatkan anak untuk merasakannya.

Saya rasa model pembelajaran di atas tidak akan lekang oleh waktu, dan memang tepat untuk mendidik anak jaman sekarang. Maka, mari siapkan diri untuk pantas menjadi model dan panutan untuk anak-anak kita. Jika merasa belum pantas, mari terus belajar  mengembangkan diri, baik dari segi pengetahuan ataupun sikap hidup.

Terjebak Gejala

Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa rekan diskusi hangat tentang masalah yang dihadapi kebanyakan orang tua jaman sekarang. Banyak orang tua merasa putus asa, menyerah, dan bahkan tidak mau tahu lagi dengan sikap anaknya sendiri yang menginjak remaja. Istilahnya terserah…. Bahkan tidak jarang mengambil jalan cepat, sibuk mencari sekolah yang menyediakan asrama, agar anak tidak di rumah, dan berharap asrama bisa memperbaiki sikap atau karakter anaknya yang suka membangkang, bicara nyolot, tidak menghargai orang tua, lekat dengan gadget, dan lain sebagainya.

Apakah masalah akan selesai? Belum tentu juga. Banyak juga pendidik yang sekarang hanya memposisikan diri sebagai pengajar, sekedar mentransfer pengetahuan, bukan ke mendidiknya. Jika sudah seperti ini, tentu saja permasalahan tidak selesai. Banyak orang tua, pendidik, atau mungkin kita sendiri, gampang terjebak pada yang tampak di mata kita. Anak bicara nyolot, tidak sopan, membangkang, berkelahi, dan sejenisnya, dengan mudah kita simpulkan bermasalah. Bahkan tidak jarang langsung memberi label: anak nakal, anak tidak tahu diri, anak tidak bisa diperbaiki lagi, dan lain-lain.

Padahal jika kita mau berpikir lebih dalam dan berefleksi, segala permasalahan di atas sebenarnya hanya gejala saja. Gejala yang terlihat di permukaan, yang mungkin dirancang Tuhan agar mudah dilihat oleh orang lain. Mungkin juga, setelah melihat gejala permukaan tadi, Tuhan mempunyai rencana bagi kita selaku orang tua, pendidik, atau orang yang lebih dewasa ini agar mau melihat apa yang ada dibaliknya. Jika anak kita nyolot, tidak sopan, membangkang, apa yang menjadi penyebabnya? Bukankah tidak mungkin, anak yang pada dasarnya baik, lambat laun jadi membangkang  jika tidak ada pemicunya? Nah… Jika mau sampai ke tahap ini, barulah kita akan sedikit demi sedikit menemukan masalah sebenarnya, sehingga bisa mencari solusi terbaik. Jika hanya sampai ke gejala, bagaimana mungkin bisa membuat solusi? Terlebih, yang tampak di permukaan itu hanyalah bagian yang sangat kecil, justru yang tidak terlihat itulah yang besar.

Mari kita biasakan diri untuk selalu melihat lebih ke dalam dari setiap pengalaman hidup kita, agar tidak terjebak oleh gejala. Niscaya, semua akan terasa indah. Jika belum terbiasa, maka tidak ada salahnya untuk konsultasi kepada yang ahli di bidangnya.

 

 

Scroll to Top